Konflik Tambang Bolmong Diadukan ke DPRD Sulut

PT DBL Bantah Beroperasi tanpa izin

METRO, Manado- Aspirasi soal konflik yang terjadi di lokasi tambang PT Bulawan Daya Lestari (BDL), Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) tembus ke DPRD Sulut. Hal tu disampaikan masyarakat adat Bolmong, dan masyarakat adat dari Desa Toruakat, Kecamatan Dumoga, Bolmong, Senin (4/10/2021).

Bacaan Lainnya

Mereka diterima Wakil Ketua DPRD Victor Mailangkay, Wakil Ketua Komisi I Herol Kaawoan, dan personel Komisi IV Jems Tuuk yang juga mewakili masyarakat adat menyampaikan aspirasi di ruang rapat lantai III, Kantor DPRD Sulut.

Jems Tuuk mengatakan, ada beberapa hal yang disampaikan dalam pertemuan ini. Pertama, telah terjadi pelanggaran HAM berat di Bolingongot.

“Oleh Permendagri 52 Tahun 2018, di mana wilayah ini adalah wilayah adat, masyarakat adat, dan hukum adat. Karena hanya untuk menegakkan hukum adat pemilik adat ini dibantai di tanah adat masyarakat Toruakat,” katanya saat konferensi pers.

Ketua Lembaga Koordinasi Pemangku Adat Seluruh Indonesia itu menyebut, berdasarkan hal tersebut pihaknya berpendapat bahwa PT BDL dalam hal ini pemilik tambang melakukan penghinaan, perampokan, pelecehan masyarakat adat.

“Bukan hanya terjadi pada masyarakat Toruakat, tetapi terjadi pada keseluruhan ada yang ada di Bolmong,” tambah Tuuk.

Oleh sebab itu, pihaknya bersama-sama mendesak, yang pertama mengutuk semua kejadian yang terjadi. Kemudian, pihak Polri diminta dapat menegakan hukuman kepada pemilik.

“Sebab kami melihat hari-hari ini arah penegakan hukum ini mulai lari, dimana pemilik tidak dilibatkan. Pemilik harus bertanggungjawab terkait terjadinya perampokan adat, pelecehan adat, yang melanggar Undang-undang atau Permendagri 52,” sebut Tuuk.

Pihaknya juga mendesak kalau ada pasal atau ayat yang bisa dijadikan tuntutan maksimal terhadap otak yaitu pemilik BDL karena terjadinya tindakan pidana dan pelanggaran hukum adat.

“Kami meminta kepada Polri melakukan tuntutan maksimal yaitu hukuman mati,” ungkapnya.

Sebagai pesan, lanjut Tuuk, bahwa tanah ini adalah tanah Bolmong.

“PT BDL tidak boleh lagi beroperasi di tanah Bolaang Mongondow. Karena pertama dia (PT BDL) tidak memiliki izin, kedua dia membenturkan masyarakat adat dan masyarakat yang ada di Bolaang Mongondow,” ujarnya.
Dia menambahkan, pihak Komnas HAM untuk turun tangan dalam masalah ini. Selain itu, Tuuk menyebut, diduga ada keterlibatan Polres Kota Kotamobagu dalam persoalan ini.

“Ada satu aparat keamanan yang terlibat di dalamnya, kami minta ada campur tangan dari Komnas HAM,” ungkapnya.

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Victor Mailangkay mengatakan, tadi sudah dilakukan diskusikan, maka ada beberapa kesimpulan yang telah disepakati bersama, di antaranya akan meminta pimpinan dewan untuk membuat surat tugas bagi komisi gabungan, yakni Komisi I, Komisi III dan Komisi IV.

“Jadi, itu akan ada surat tugas selambat-lambatnya tanggal 12 Oktober kita sudah turun ke lapangan untuk merekam secara langsung kondisi keadaan yang terjadi di perkebunan Bolingongot,” ucapnya.
Lanjut dia, hasil kunjungan itu selanjutnya akan dirapatkan dalam rapat dengar pendapat dengan PT BDL, masyarakat ada Bolmong Raya dan Toruakat, beserta instansi terkait lainnya termasuk Dinas ESDM, BPN, Dinas Lingkungan Hidup, Biro Hukum terkait masalah itu.

“Agar kita bisa mendapatkan solusi bersama yang bisa diterima oleh semua,” paparnya.

Terkait izin tambang, DR Ralfie Pinasang SH MH selaku pakar hukum PT BDL mengatakan, PT BDL memiliki legalitas hukum yang kuat karena sudah kantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) 11 Maret 2019 berlaku sampai 2029.

Selain itu, ada Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) 2019, Keputusan Bupati Bolmong No. 29 tahun 2009 tentang Kelayakan Lingkungan Kegiatan Penambangan Emas Desa Mopait Kecamatan Lolayan Kabupaten Bolaang Mongondow Propinsi Sulut oleh PT BDL.

Pihak PT BDL juga kantongi CNC sertifikat Clear and Clean No. 910/Min/06/2014 tanggal 11 Juli 2014. Kemudian Izin Lingkungan AMDAL (KA-Andal, Andal, RKL dan RPL) Pengesahan Amdal oleh Bupati Bolmong SK No.29 tahun 2009.

Untuk IPPKH (Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan) yang sebenarnya sudah berubah menjadi PPKH (Persetujuan Pemanfaatan Kawasan Hutan) dengan diterbitnya UU Cipta Kerja tanggal 29 Oktober 2020.

Berdasarkan UU 30 tahun 2014 tentang Administrasi pemerintahan disebutkan antara lain sampai batas waktu 10 hari sejak permohonan disampaikan maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum dan juga dengan adanya UU Cipta Kerja pasal 110 A menyatakan, setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang terbangun dan memiliki perizinan berusaha di dalam kawasan hutan sebelum UU ini dan belum memenuhi syarat sesuai perundang-undangan yang berlaku, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tiga tahun sejak UU ini berlaku.

“Sehingga pada bulan Juli 2021 secara prosedural administrasi kami atau PT BDL mengirim surat permohonan perpanjangan kembali (surat kedua) ke-Kementerian Lingkungan Hidup. Jadi dalam hal ini PT BDL bukan berarti tidak ada izin kemudian disebut PETI, ini tidak benar,” tegas Pinasang.

Hal ini dapat kami tegaskan kembali bahwa PT BDL mempunyai IPPKH.

“Apabila merujuk atau berdasarkan Pasal 53 Undang-undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan antara lain sampai batas waktu 10 hari sejak permohonan disampaikan maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum,” jelasnya.(37)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan