Oleh:
Ns. Herlina Tiwa, S.Kep; Dr.Ns. Titih Huriah,S.Kep,M.Kep.Sp.Kom
PENYAKIT ginjal kronik tahap akhir (PGTA) atau End State Renal Disease (ESRD)merupakan tahap akhir penyakit ginjal yang progresif atau penyakit ginjal akut yang gagal dipulihkan dan mengharuskan pasien untuk melakukan terapi penggantian guna memperpanjang kehidupan.Gagal ginjal stadium akhir ini ditandai dengan penurunan fungsi ginjal dibawah 15 ml/menit (KDOQI, 2002; O’Collaghan, 2009). Definisi lain menyebutkan, PGTA merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel dimana tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme, keseimbangan cairan dan elektrolit yang menyebabkan uremia, sehingga diperlukan dialisis dan transplantasi ginjal untuk kelangsungan hidup pasien (Smeltzer & Bare, 2008).
Penyakit ginjal kronik tahap akhir merupakan tahap akhir dari gagal ginjal. Penyakit ini biasanya diawali dari gagal ginjal kronis yang tidak ditangani dengan baik (Baradero, Mary & Yakobus, 2009, 2009; O’Callaghan, 2009). Penyakit ini juga dapat disebabkan oleh semua semua hal yang mengakibatkan kehilangan nefron secara progresif seperti diabetes melitus, glomerulonefritis kronis, pielonefritis, hipertensi tidak terkontrol, obstruksi traktus urinarius, lesi herediter, gangguan vaskuler, infeksi, medikasi atau agen toksik (Baradero, Mary & Yakobus, 2009, 2009; Smeltzer & Bare, 2008). Sedangkan etiologi penyakit gagal ginjal di Indonesia menurut Indonesian Renal Register(IRR, 2012) adalah: Hipertensi (35%), diabetes melitus (26%), Glumerulopati Primer/GNC (12%), Nefropati Obstruksi (10%), glomerulonefritis (7%) dan penyebab lainnya (10%).
PGTA merupakan stadium akhir dari penyakit gagal ginjal kronik. Sebelum sampai pada stadium ini, seseorang biasanya akan melewati beberapa stadium awal yang sering kali tanpa gejala. Tahapan penurunan fungsi ginjal ini sering juga disebut sebagai klasifikasi gagal ginjal kronik yang ditetapkan berdasarkan kecepatan filtrasi glomerulus. Semakin rendah laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR) maka semakin tinggi derajat gagal ginjal. Kecepatan laju filtrasi glomerulus normal adalah 125ml/menit/1,73 m2 dan setiap kerusakan/ kehilangan fungsi nefron akan menurunkan laju filtrasi glomerulus.
Penurunan fungsi ginjal yang bersifat progresif ini akan menyebabkan penumpukan cairan dan produk sisa metabolisme di dalam tubuh serta dapat menimbulkan berbagai komplikasi. Semakin sedikit nefron yang berfungsi, maka ekskresi ion asam (H+) akan semakin berkurang sehingga memicu terjadinya asidosis metabolik. Dampak lain penurunan fungsi ginjal adalah terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium serta penurunan produksi eritropoetin yang mengakibatkan terjadinya anemia. Penumpukan produk sisa metabolisme juga akan menyebabkan uremia. Toksik uremia terjadi akibat ureum tidak bisa diekskresikan secara optimal dan menyebabkan gangguan pada sistem tubuh diantaranya imunitas serta gangguan metabolisme protein di usus yang menyebabkan anoreksia, nausea dan vomitus (O’Callaghan, 2009 ; Price & Loraine, 2006, Smeltzer & Bare, 2008).
Jumlah penderita PGTA terus meningkat dari tahun ketahun. Menurut laporan US Renal Data System (USRDS, 2012), insiden PGTA tertinggi tahun 2010 terjadi di Amerika Serikat dengan jumlah pasien baru sebanyak 116.946 jiwa atau 369 persatu juta penduduk. Sedangkan di Indonesia, jumlah penderita PGTA pada tahun 2006 mencapai 4.656 jiwa atau 30,7 persatu juta penduduk. Angka tersebutmeningkat 116.6 % dibandingkan tahun 2002 (Prodjosudjadi & Suhardjono, 2009). Peningkatan jumlah pasien PGTA berbanding lurus dengan jumlah pasien yang membutuhkan terapi penggantian ginjal.
Di Amerika Serikat, tahun 2009 pasien baru yang memulai hemodialisis adalah 106.000 pasien (USDR, 2011). Sedangkan di Indonesia, melalui Indonesian Renal Registrasy (IRR) dilaporkan jumlah pasien PGTA yang menjalani terapi hemodialisis tahun 2009 adalah 12.900 dan meningkat 72,9 % pada tahun 2011 menjadi 22.304 pasien (IRR, 2011). Sementara jumlah pasien di unit Hemodialisis Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof DR Kandou Manado, baik di ruang Hemodialisa Melati maupun Hemodialisa Dahlia kini berjumlah 540 orang. Dari jumlah tersebut sebagian besar mengalami kesulitan beradaptasi terhadap program pembatasan cairan.
Hemodialisis merupakan salah satu terapi penggantian fungsi ginjal modern dengan menggunakan dialisis untuk mengeluarkan zat terlarut dan hemofiltrasi untuk mengeluarkan air yang membawa zat terlarut yang tidak diinginkan (O’Callaghan, 2009). Dalam referensi lain, hemodialisis diartikan sebagai suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen (Smeltzer & Bare, 2008). Hemodialisis dilakukan pada pasien yang membutuhkan terapi penggantian ginjal baik sementara maupun reguler dengan tujuan untuk mengatasi gangguan fungsi ginjal serta mencegah komplikasi lebih lanjut.
Penatalaksanaan pada penyakit gagal ginjal stadium akhir bertujuan untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homestasis selama mungkin (Smeltzer & Bare, 2008). Penatalaksanaan dilakukan dengan mengidentifikasi dan menangani seluruh faktor yang berperan pada gagal ginjal kronik tahap akhir serta komplikasi potensial yang mungkin terjadi mencakup hiperkalemia, perikarditis, hipertensi, anemia dan penyakit tulang (Smeltzer & Bare, 2008). Secara umum terdapat dua pendekatan dalam penatalaksanaan PGTA yaitu Manajemen Diet dan Cairan, serta Terapi Penggantian Ginjal.
Tujuan manajemen diet adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, menurunkan morbiditas dan mortalitas, memperlambat progresifitas penyakit ginjal, meminimalkan toksisitas uremik serta mencegah terjadinya malnutrisi. Sedangkan Terapi Penggantian Ginjal merupakan penatalaksanaan utama pada penyakit ginjal kronik tahap akhir dan tujuan untuk memperpanjang kelangsungan hidup dan memperbaiki kualitas hidup pasien (O’Callaghan, 2009; Suwitra dalam Suyono et al, 2006).
Keperawatan dalam melakukan pendekatan untuk menyelesaikan masalah pasien adalah dengan menggunakan model keperawatan. Model konseptual keperawatan dikembangkan atas pengetahuan para ahli keperawatan yang bertolak belakang dari paradigma keperawatan. Model konseptual dalam keperawatan dapat memungkinkan perawat untuk menerapkan cara perawat bekerja dalam batas kewenangan sebagai seorang perawat. Perawat perlu memahami konsep ini sebagai kerangka konsep dalam memberikan asuhan keperawatan dalam praktek keperawatan atau sebagai filosofi dalam dunia pendidikan dan kerangka kerja dalam riset keperawatan.
Salah satu teori keperawatan yang bisa digunakan adalah teori keperawatan adaptasi dari Callista Roy. Roy dalam teorinya menjelaskan empat macam elemen esensial dalam adaptasi keperawatan , yaitu : manusia, lingkungan, kesehatan, dan keperawatan. Model adaptasi Roy menguraikan bahwa bagaimana individu mampu meningkatkan kesehatannya dengan cara mempertahankan perilaku secara adaptif karena menurut Roy, manusia adalah makhluk holistik yang memiliki sistem adaptif yang selalu beradaptasi.
Model konseptual Roy mengacu pada ide-ide global mengenai individu, kelompok situasi atau kejadian tertentu yang berkaitan dengan disiplin yang spesifik. Teori-teori yang terbentuk dari penggabungan konsep dan pernyataan yang berfokus lebih khusus pada suatu kejadian dan fenomena dari suatu disiplin ilmu. Aplikasi teori Adaptasi Roy bertujuan untuk membantu pasien meningkatkan koping efektif terhadap perubahan status kesehatannya. Teori ini dapat diaplikasikan pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir yang menjalani hemodialisis dimana mereka memerlukan penyesuaian terhadap perubahan gaya hidup, tidak hanya bagi pasien tetapi juga pada keluarga mereka. (***)