KORANMETRO.COM- Kebijakan pemerintah dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT), dinilai bisa menimbulkan efek domino terhadap perekonomian masyarakat.
Hal ini terungkap dalam diskusi bertema Satu Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran dari Sudut Pandang Energi, di Manado, Sulawesi Utara, pada Rabu (19/11/2025).
Pakar ekonomi Universitas Negeri Manado, Robert Winerungan, yang menjadi narasumber dalam diskusi tersebut, menilai kebijakan pemerintah mendorong biofuel, etanol, hingga perluasan infrastruktur listrik desa merupakan strategi ekonomi yang selaras dengan kebutuhan transisi energi.
“Kalau harga itu cukup untuk biaya produksi dan memberi pendapatan yang layak, maka akan makin banyak orang yang jadi petani tebu, jagung, dan lainnya. Selama ini mereka sulit bekerja di sektor pertanian karena harga komoditas itu murah. Tapi kalau harga tebu, jagung, dan ubi bisa lebih tinggi daripada biaya produksi sehingga petani untung, maka banyak orang akan kembali ke pertanian. Ada fasilitas kebun dan lahan yang tersedia, sehingga sektor pertanian akan bangkit,” jelas Robert.
Menurutnya, pembangunan infrastruktur EBT memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Akan tetapi potensi EBT yang dimiliki Indonesia sangat banyak dan dapat memancing para investor untuk datang.
“Banyak orang tertarik berinvestasi kalau itu menguntungkan. Artinya, pendapatan yang mereka dapatkan melebihi biaya. Tapi yang sering menjadi masalah adalah biaya operasional yang tidak kecil. Kalau biaya operasional bisa ditekan lewat regulasi yang baik, tentu investor akan masuk karena mereka melihat keuntungan,” ungkap Robert.
Sementara itu, Pakar energi dan dosen Universitas Sam Ratulangi, Reynaldo Joshua Salaki, menilai pemerintah telah berada pada jalur kebijakan yang tepat dalam pengembangan EBT.
“Target bauran EBT nasional sebesar 25 persen pada 2025 memang cukup menantang, namun menurutnya pemerintah sudah mengarahkan kebijakan sesuai rencana jangka panjang,” tutur Reynaldo.
Ia mengatakan, Sulawesi Utara menyimpan berbagai potensi sumber daya EBT. Hal ini juga menjadi salah satu daya tarik bagi investor untuk berinvestasi di wilayah Sulut.
Reynaldo mencontohkan ada investor dari Korea Selatan yang ingin berinvestasi di Indonesia dengan skema pembangunan infrastruktur melalui kesepakatan kontrak. Setelah infrastruktur selesai, dalam jangka waktu tertentu ketika produksi energi telah selesai, seluruh fasilitas akan diberikan kepada pemerintah Indonesia.
“Ini menunjukkan potensi energi di Indonesia sangat besar. Tidak usah jauh, di Sulawesi Utara, daerah Likupang sudah memiliki solar power yang cukup besar karena curah matahari yang tinggi. Kita belum mengeksplor daerah-daerah lain yang potensinya juga banyak, bukan hanya solar power tapi juga hydro dan lainnya,” kata dia.
Pemerintah melalui Kementerian ESDM, telah meresmikan sejumlah proyek EBT, diantaranya Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Wairara (128 kW) di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur dan PLTMH Anggi I (150 kW) serta Groundbreaking PLTMH Anggi II (500 kW) di Pegunungan Arfak Papua Barat.(ian)






