Pelantikan Majelis Budaya Adat Tonsea Tuai Surotan

Bupati saat melantik pengurus majelis budaya adat Tonsea.

 

Bacaan Lainnya

 

 

 

 

METRO, Airmadidi – Bupati Minahasa Utara Vonnie Anneke Panambunan melantik majelis budaya adat Tonsea, yang diketuai Prof Dr Ronald Mawuntu, Selasa (21/01/2020). Uniknya justru sejumlah pemerhati budaya mengkritisi pelantikan tersebut.

Bupati VAP dalam sambutannya mengatakan, dengan dibentuknya majelis adat ini, adat istiadat tanah Tonsea harus dikembangkan
“Dengan dibentuknya majelis adat ini, adat istiadat tanah Tonsea harus dikembangkan. Saya sendiri berdarah Tonsea dan akan belajar bahasa Tonsea. Daerah Tonsea ini harus lebih dikembangkan,” tutur Bupati.

Panambunan berharap semua warga saling berdamai dengan sesama agar Tanah Tonses bisa menjadi berkat bagi semua. “Kita juga harus takut akan Tuhan agar berkat terus melimpah ke Tanah Tonsea,” imbuh Bupati.

Ketua Umum Majelis Adat Budaya Tonsea Minut yakni Prof Ronald Mawuntu SH MH dalam sambutannya mengaku akan membina adat Tonsea dengan baik untuk menjalankan visi dan misi majelis adat.
“Kami hanya mewariskan yang benar dan patut bagi generasi Tonsea,” kata Mawuntu.
Pada kesempatan tersebut, Bupati memberikan bantuan Rp 50 juta secara tunai untuk memajukan organisasi adat tersebut. Bahkan setiap pengurus pun ikut mendapatkan uang tunai masing-masing sebesar Rp1 juta.

Sementara itu pelantikan tersebut justru menuai sorotan tajam. Seperti diungkapkan pemerhati budaya Tonsea Jeane Waturandang bahwa pembentukan lembaga adat sangat peka dan beda dengan pembentukan wadah organisasi profesi atau sanggar dan lain-lain. “Tanpa sosialisasi ke masyarakat adat, tanpa musyawarah dengan tokoh-tokoh yang benar-benar konsen soal ini dan masih banyak mereka yang aktif dan giat dalam pelestarian adat, justru tidak tahu soal pelantikan ini. Saya kira ini bukan salah Bupati yang melantik, tapi penginisiatif yang menggunakan situasi untuk kepentingan kelompok. Jika tujuan wadah ini untuk membina adat istiadat. Adat mana yang mau dibina?,” tegas Waturandang.

“Ini kesalahan dan justru menyalahi adat istiadat yang semestinya harus melalui musyawarah. Saya kritisi ini dan berharap Bupati boleh mempertimbangkan kembali kalau memang sudah terlanjur dibuatkan SK, atau kalau tetap dipertahankan imbasnya pasti justru bukan untuk meyamakan persepsi tentang adat istiadat yang mempersatukan tapi sebaliknya,” sorot Waturandang, kemarin.
Hal serupa juga diungkapkan Ramoy Markus Luntungan, mantan birokrat Sulut yang berdarah Tonsea ini. “Adat apa yang ada lantik itu? Apakah ada ijin Kesbang dan apakah ada Perda? Terus ada melantik pakai dasar hukum apa?” beber RML.

Dirinya menyarankan agar Perda adat tonsea harus dipercepat, sebagai payung dari semua organisasi adat, rukun yang bernafas Tonsea.
Lain halnya diungkapkan Johanis Luntungan, salah satu pemerhati adat dan budaya Tonsea. Menurutnya, jangan-jangan ini hanya menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Harusnya kalau majelis adat libatkan pemerhati, pelaku dan tonaas yang ada di desa-desa. “Memang kalau saya perhatikan setiap tahun politik pasti ada saja organisasi yang dibentuk, kalau menurut saya ini tidak baik,” tukas Luntungan.(RAR)

 

Pos terkait