METRO- Winter COVID mengintai daratan Eropa. Musim dingin disebut-sebut sebagai salah satu aspek yang turut memengaruhi lonjakan kasus di belahan bumi utara. Ada tiga negara di Eropa yang masuk dalam daftar lima besar dunia dengan jumlah kasus baru terbanyak selama 28 hari terakhir versi Johns Hopkins.
Negara-negara yang mengalami lonjakan kasus COVID-19 itu yakni Inggris (1 juta kasus baru), Rusia (1 juta kasus), dan Jerman (824 ribu kasus). Negara Eropa lainnya seperti Belanda dan Belgia pun turut mengalami peningkatan kasus. Bahkan Belanda telah mulai menerapkan lockdown 3 minggu.
Selain itu, Prancis kini pun dihadapkan pada jumlah kasus positif yang merangsek naik. Hal tersebut dikonfirmasi juru bicara Kedutaan Besar Prancis untuk Indonesia, Dominique Roubert, Jumat (19/11/2021).
Roubert menyebut, kasus COVID-19 di negaranya terus meningkat sejak November 2021. Rata-rata kasus baru dalam sepekan terakhir mencapai 12 ribu. Lalu, kasus harian tembus 20 ribu pada 17 November kemarin. Meski demikian, vaksinasi disebut membuat situasi terkini tidak separah gelombang sebelumnya.
“Meski agak mengkhawatirkan, karena jumlah orang yang divaksin tinggi, jumlah pasien positif dengan gejala berat dan angka kematian relatif kecil,” tutur Roubert.
Hingga kini Prancis belum mempertimbangkan kebijakan lockdown, hanya mengampanyekan protokol kesehatan agar dipatuhi lebih ketat. Berbeda dengan Belanda yang telah memberlakukan kebijakan tersebut sejak Sabtu (13/11). Mobilitas warga kembali dibatasi, demikian pula dengan restoran dan toko-toko yang durasi layanannya dipersingkat.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan kematian akibat Virus Corona di Eropa naik 5 persen pada minggu lalu, membuat Eropa menjadi wilayah di dunia dengan kasus kematian akibat COVID-19 yang meningkat.
Dalam laporan mingguannya tentang pandemi yang dikeluarkan Selasa malam, WHO mengatakan kematian COVID-19 di semua wilayah selain Eropa tetap stabil atau menurun, dan berjumlah 50.000 di seluruh dunia pekan lalu.
Dari 3,3 juta infeksi baru yang dilaporkan, 2,1 juta berasal dari Eropa. Itu adalah minggu ketujuh berturut-turut bahwa kasus COVID-19 terus meningkat di 61 negara dan wilayah yang dihitung WHO di kawasan Eropa, yang membentang melalui Rusia hingga Asia Tengah.
Sementara itu, sebuah penelitian terhadap jumlah orang di 19 negara yang tidak terinfeksi COVID-19 atau divaksinasi menunjukkan, pandemi Corona diperkirakan bisa menelan korban jiwa tambahan mencapai 300 ribu di Eropa.
Model penelitian ini juga memprediksi bahwa pandemi COVID-19 dapat menyebabkan sekitar satu juta rawat inap di Eropa, beberapa di antaranya akan berkontribusi pada angka kematian yang diproyeksikan. Tetapi penulis analisis menunjukkan bahwa perkiraan mereka adalah jumlah maksimum, yang mengasumsikan bahwa semua pembatasan anti-infeksi COVID-19 dicabut dan kontak antar individu telah kembali ke tingkat pra-pandemi.
Hasil analisis telah di-posting sebagai pracetak di server medRxiv dan belum ditinjau oleh rekan sejawat.
Ahli epidemiologi penyakit menular di University of Cambridge, Inggris Henrik Salje yang tidak terlibat dalam penelitian berpendapat, temuan itu menunjukkan bahwa korban pandemi COVID-19 di masa mendatang bisa sangat parah di Eropa dan mungkin tempat lain. Tetapi menurutnya, angka-angka itu harus ditafsirkan dengan hati-hati, karena analisis tersebut mengasumsikan bahwa setiap orang dalam populasi akan terpapar – “skenario terburuk yang ekstrem.”
Sedangkan pemodel penyakit menular di University of Sydney di Australia, Sheryl Chang menganggap, penelitian terkait kematian akibat COVID-19 berguna dalam membantu negara-negara mempersiapkan diri menghadapi tantangan di masa depan.
“Angka-angkanya mengejutkan, dan itu mungkin atau mungkin tidak terjadi, tetapi orang-orang perlu sadar bahwa COVID-19 belum berakhir,” ujarnya.
Belajar dari pengalaman sepanjang tahun 2020 hingga 2021, Pemerintah mengimbau masyarakat untuk mewaspadai kemungkinan terjadinya peningkatan kasus COVID-19 pada musim libur Natal dan tahun baru (Nataru). Periode libur panjang umumnya diikuti dengan kenaikan kasus.
Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiolog Indonesia (PAEI) Masdalina Pane mengungkap, potensi gelombang baru yang akan dihadapi saat ini sebenarnya berbeda dengan yang sebelumnya.
“Saya belum melihat sebenarnya ada kemungkinan untuk gelombang ketiga, kenapa? Karena kondisi hari ini berbeda dengan kondisi tahun lalu. Kalau kita menggunakan data tahun lalu, memang terlihat ada potensi gelombang ketiga. Tapi ada yang berbeda lho,” ujar Masdalina pada Health Liputan6.com, Jumat (19/11/2021).
Masdalina pun menyoroti perbedaan kondisi dengan tahun lalu yang berkaitan dengan cakupan vaksinasi serta testing dan tracing juga belum dilakukan dengan baik.
“Tahun lalu kondisi kita belum terkendali sesuai dengan indikator pengendalian yang ada sekarang, karena indikator yang ada sekarang baru ada mulai bulan Juni 2021 ya. Jadi menurut kami, sebenarnya tidak ada risiko untuk terjadinya gelombang ketiga,” kata Masdalina.
Masdalina juga mengatakan, gelombang ketiga berpotensi terjadi jika varian terbaru seperti AY.4.2 masuk ke Indonesia.
“Yang saat ini kita sedang waspadai kan AY.4.2. Nah kalau dia masuk, ada kemungkinan untuk terjadinya gelombang ketiga. Sepanjang itu tidak masuk, enggak ada risiko untuk gelombang ketiga,” ujar Masdalina.
Hal senada disampaikan Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Pandu Riono. Menurutnya, ada beberapa syarat yang menjadi pemicu terjadinya gelombang ke-3, seperti kegiatan kumpul-kumpul tanpa menerapkan protokol kesehatan, varian baru, serta capaian vaksinasi yang rendah di daerah tujuan merayakan tahun baru. Sejauh ini, Pandu menilai syarat tersebut tidak ditemukan dan dapat teratasi.
“Sampai sekarang enggak ada varian baru yang lebih ganas dari varian Delta.”
“Sekarang kan digenjot terus vaksinasinya, kondisi kita beda dengan tahun lalu. Tahun lalu belum ada vaksinasi, tahun lalu belum ada aplikasi PeduliLindungi,” lanjutnya.
Mengenai lonjakan kasus COVID-19 di Jerman dan Eropa, Pandu berpendapat hal tersebut terkait dengan cakupan vaksinasi yang terbilang rendah dan penerapan protokol kesehatan yang kendur.
Ia juga mengaitkan dengan karakteristik Jerman yang merupakan negara merdeka dengan nilai demokratis tinggi. Hal ini dapat berpengaruh pula pada karakteristik masyarakatnya yang tidak bisa dipaksa untuk vaksinasi.
“Di sisi lain, tidak ada persyaratan-persyaratan yang mengetatkan seperti PeduliLindungi. Orang enggak mau pakai masker, protokol kesehatannya enggak dijaga. Kebanyakan sih prokes yang orang-orangnya enggak mau ikut anjuran dan pemerintah enggak bisa memaksa.”
Jelang momen libur panjang Nataru, di Indonesia epidemiolog Dicky Budiman memprediksi bakal terjadi kenaikan kasus di triwulan pertama 2022 bila mitigasi pandemi yang mendasar tidak dijalankan dengan optimal.
“Memang bukan di Januari potensi peningkatannya,” kata Dicky,
Dicky mengatakan, ancaman peningkatan kasus bisa dicegah dengan penerapan 3T, 5M, dan vaksinasi. Hanya saja Dicky menilai, permasalahannya sekarang pada pelaksanaan PPKM pelonggaran belum terukur dan terkendali. Lalu, distribusi vaksinasi COVID-19 belum merata.
“Kalau 3T ini menurun bahaya ini. Apalagi menghadapi momen Nataru,” katanya.
Jelang momen besar seperti Nataru, testing harus ditingkatkan di lokasi yang benar. Boleh saja skrining di beberapa tempat umum serta pelacakan klaster-klaster.
“Lalu, lacak dengan betul peningkatan kasus di kabupaten-kota,” sarannya.
Bila mitigasi dilakukan tepat, potensi gelombang COVID-19 berikutnya bisa dicegah. Dicky mengatakan, mengenai lonjakan kasus sedikit di masa pandemi itu memang hal yang tidak bisa dihindari tapi diharapkan jangan sampai ada kematian dan berkurang jumlah orang yang masuk rumah sakit.(sumber: liputan6.com)