METRO, Manado- Serdadu Anti Mafia Tanah Sulawesi Utara (Sulut) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulut menggelar diskusi dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila.
Diskusi digelar di Cafe Kamari, pada Selasa (6/6) sore, dengan melibatkan peserta dari kalangan akademisi, mahasiswa dan jurnalis.
Diskusi yang mengangkat tema tanah untuk rakyat, menangkan Pancasila ini menghadirkan dua pembicara, yaitu Peneliti Rumah Nusantara, Andreas Sabawa, dan Kepala Bidang Penetapan Hak dan Pendaftaran BPN Sulut, Ahmad Muqim Haryono.
Dalam pemaparannya Haryono mengungkapkan bahwa sejak pemberlakuan Undang-undang (UU) Agraria Nomor 5 Tahun 1960, sistem hukum tanah mengalami reformasi
“UUD Nomor 5 Tahun 1960 berlandaskan Pancasila yang memberikan keadilan bagi
masyarakat,” kata Haryono.
Sebelum berlakunya undang-undang ini, menurut Haryono di jaman kolonial Belanda, hukum tanah di Indonesia tunduk pada hukum barat, sehingga hanya tanah milik orang barat atau Belanda yang didaftarkan.
“Karena semua sertifikat hanya diterbitkan atas nama mereka maka barangsiapa siapa yang tidak bisa menunjukkan bukti kepemilikan, secara otomatis menjadi tanah milik negara,” ujar Haryono.
Lanjut dikatakannya, salah satu pasal dalam undang-undang Nomor 5 tahun 1960 mengatur bahwa hanya warga negara Indonesia yang berhak mempunyai hak milik atas tanah.
“Dalam undang-undang tersebut juga mengatur bahwa tanah harus mempunyai fungsi sosial,” ungkapnya.
Menurut Ahmad, Pancasila dan hukum tanah di Indonesia merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, karena asas dari UU Nomor 5 tahun 1960 adalah Pancasila.
“Hukum tanah dan Pancasila seperti dua sisi mata uang. Tidak bisa dipisahkan. Bagaimana tanah itu digunakan berdasarkan nilai-nilai Pancasila, dan bagaimana Pancasila itu digunakan untuk mengatur tanah,” tandasnya.
Sementara itu Peneliti Rumah Nusantara, Andreas Sabawa mengatakan, saat ini tanah menjadi barang mahal seiring pertambahan jumlah penduduk, dan tingkat kepadatan di Sulawesi Utara yang makin tinggi.
“Artinya sekarang di Kota Manado banyak
orang yang tidak punya rumah. Banyak yang tinggal di kost-an dan kontrakan. Sementara di sisi lain ada orang yang punya tanah berhektar-hektar,” katanya.
Undang-undang di Indonesia, kata Andreas mengatur hak kepemilikan, bahwa orang tidak boleh memiliki tanah secara berlebihan.
“Jika masalah kepemilikan ini terus dibiarkan akan mengakibatkan konflik sosial, banyak negara yang runtuh
karena konflik agraria,” terangnya.
Lebih jauh Andreas mengungkapkan, pemerintah sudah pernah mencanangkan program sejuta rumah dengan DP Rp 1,5 juta. “Ini salah satu bentuk pengamalan nilai Pancasila yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia,” pungkasnya.(71)
Komentar