DISKRIMINASI terhadap penyandang disabilitas masih sering dijumpai di tengah lingkungan sosial. Hal ini dipicu kurangnya pemahaman masyarakat tentang dunia inklusif disabilitas.
Tingkat kesejahteraan, kualitas pendidikan, peluang kerja, serta perlakuan masyarakat terhadap penyandang disabilitas di masing-masing daerah berbeda-beda
Di Jakarta, mulai banyak penyandang disabilitas bisa mandiri tanpa bantuan keluarga dan bisa memilih lingkungan kerja sesuai yang mereka mau.
Berbanding terbalik dengan kondisi penyandang disabilitas di Kota Bitung. Mereka belum mendapatkan perlakuan dan kesempatan untuk menikmati hak, termasuk kualitas pendidikan yang masih jauh berbeda.
Inilah yang diperjuangkan Donna Chira Ginting lewat Komunitas Tuli Peduli Bitung (Kaleb) yang didirikannya 5 tahun silam.
Saat ditemui METRO di ruang kerjanya Kantor Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Bitung, Rabu (7/6) siang, Istri tercinta dari Andre Lahama ini, menuturkan cerita membentuk Kaleb, kondisi penyandang disabilitas di Kota Bitung, dan perjuangannya mengenalkan budaya tuli ke masyarakat.
“Dunia inklusif disabilitas berawal dari pengalaman saya waktu di Jakarta saat bergaul dengan teman-teman tuli (tunarungu, red). Di sana mereka mendapatkan akses pendidikan, dan support system yang lebih banyak,” ujarnya.
Chira sendiri bukan penyandang disabilitas. Kepeduliannya berawal saat menempuh pendidikan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada tahun 2009. Seorang teman kuliah Chira menyandang disabilitas tuli sehingga mau tidak mau dia harus belajar bahasa isyarat agar komunikasi dengan sahabatnya itu lancar.

“Ada teman yang tuli, dari situ saya mengenal bahasa isyarat. Kemudian saya belajar otodidak sampai tahun 2022, hingga dapat kesempatan kursus bahasa isyarat di Universitas Indonesia,” ungkap wanita kelahiran Jakarta 29 September 1990 ini.
Di Jakarta Chira hidup di lingkungan yang didominasi penyandang disabilitas. Menurut dia, para penyandang disabilitas di Ibu Kota sudah banyak yang mandiri tanpa bantuan penuh keluarga, bahkan bisa memilih lingkungan kerja sesuai yang diinginkan.
“Awalnya saya berpikir di semua daerah perlakuan terhadap penyandang disabilitas sama. Namun setelah pindah ke Kota Bitung saya menemukan adanya gap dan perlakuan berbeda, termasuk kualitas pendidikan yang jauh berbeda,” kata perempuan yang juga berkarya sebagai ilustrator dan penulis cerita anak ini.
Kondisi ini yang mendorong dirinya untuk membentuk komunitas Kaleb pada 13 September tahun 2018. Inisiatif membentuk Kaleb, menurut Chira juga berangkat dari pemikiran bahwa dalam hidup bermasyarakat teman-teman tuli tidak terlepas dari kehidupan finansial, kesempatan bekerja, dan pendidikan.
“Saat itu memang belum ada yang benar-benar peduli dengan penyandang disabilitas tuli. Kebanyakan hanya dari pemerintah, sehingga di Kaleb kami membuat program kesetaraan hak. Artinya, jika orang lain bisa bekerja pada profesi seperti Barista atau kerja kantoran, maka orang tuli pun harus bisa,” ungkapnya.
Di Kaleb, Chira membuat program pelatihan bahasa isyarat, dan keterampilan. Bagi penyandang disabilitas yang ingin belajar keterampilan pertukangan tersedia studio kayu, kemudian ada studio jahit bagi yang ingin belajar keterampilan jahit menjahit. Ada juga cafe yang memperkerjakan para penyandang tuli.
“Jadi selain melatih keterampilan, mereka juga bekerja sehingga mendapat penghasilan dari situ, sambil menunggu jika ada peluang kerja di luar,” kata ibu satu orang anak ini.
Ia menilai, perlakuan berbeda yang diterima oleh orang yang menyandang disabilitas di tengah masyarakat dipicu oleh komunikasi. Selama ini masyarakat hanya mengenal budaya non disabilitas yang berkomunikasi lewat suara. “Sekarang kita balik, bagaimana masyarakat bisa mengenal budaya tuli. Karena disabilitas itu terjadi apabila ada penyandang disabilitas di lingkungan yang tidak mendukung,” terangnya.
“Ketika dinding komunikasi ini sudah teratasi sudah tidak ada lagi lingkungan disabilitas. Caranya kita mengenalkan budaya tuli ke masyarakat, salah satunya melalui pengenalan bahasa isyarat,” Chira menambahkan.
Upaya mensosialisasikan bahasa isyarat ke masyarakat umum dilakukan Chira dan kawan-kawan pada kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti festival, pameran, dan lomba.

“Nanti kami minta stand ke pihak penyelenggara, dan di stand itu kami bikin kelas bahasa isyarat dan memperkenalkan budaya tuli,” jelas Chira.
“Kemudian di Kantor DPMPTSP Bitung, saya juga memperkenalkan bahasa isyarat kepada pegawai lain untuk pelayanan publik bagi pelaku usaha yang menyandang disabilitas tuli,” imbuhnya.
Pemerintah, kata Chira sudah mulai menunjukkan kepeduliannya terhadap penyandang disabilitas. Beberapa instansi bahkan mengakomodir para penyandang disabilitas untuk unit layanan khusus disabilitas.
“Kita senang karena banyak teman-teman tuli yang mau kerja di dunia usaha. Apa yang dilakukan pemerintah ini merupakan bentuk dukungan terhadap dunia inklusif disabilitas,” ucapnya.
Meski begitu, Chira menilai kebanyakan dukungan pemerintah hanya di program pelatihan. “Belum sampai ke lapangan pekerjaan yang inklusif disabilitas,” katanya.
Akhirnya, Chira berharap Sulawesi Utara bisa lebih inklusif dari segi pekerjaan, pemenuhan hak pendidikan, dan perlindungan dari kekerasan terhadap penyandang disabilitas.
“Pada intinya kesetaraan hak. Kami menuntut supaya bisa hidup seperti masyarakat biasa yang bisa dapat pekerjaan dan penghidupan yang layak,” pungkasnya.(ian)
Komentar