METRO, Manado- Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2019 dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Sulawesi Utara (Sulut) tahun 2020 diwarnai dengan banyak sekali pelanggaran terjadi demi memenangi kompetisi dalam pesta demokrasi.
Menurut dosen Kepemiluan Universitas Sam Ratulangi Ferry Daud Liando, akibat banyaknya pelanggaran hingga tindakan kejahatan dalam Pemilu dan Pemilukada produk politik yang dihasilkan tidak cukup memberikan kepuasan kepada masyarakat.
“Proses yang buruk kerap melahirkan hasil yang buruk pula,” ungkap Liando pada Rapat Koordinasi Penanganan Pelanggaran Pemilu yang digelar Bawaslu Provinsi Sulawesi Utara, di Hotel Sutan Raja, Minahasa Utara, Jumat (4/3/2022).
Beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo tidak memberikan apresiasi kepada pemerintah daerah dalam hal penanganan penularan Covid-19 di Indonesia, melainkan apresiasi itu justru disampaikan kepada TNI dan Polri.
“Strategi dan inovasi pemerintah daerah belum banyak diakui sehingga masih memerlukan pembenahan. Sehingga kebijakan Pemilu maupun Pemilukada masih perlu harus dibenahi agar proses dan hasilnya dapat menghasilkan aktor-aktor politik yang berkualitas,” ujar Liando.
Hal ini, menurut Liando diakibatkan proses Pemilu maupun Pemilukada yang buruk akibat masih kuatnya proses transaksional, baik terhadap parpol dalam menentukan pasangan calon maupun masyarakat sebagai pemberi suara. “Sebagian besar parpol cenderung belum menjadikan kualitas dan pengalaman kepemimpinan sebagai variabel utama dalam mengusung calon. Sebagian besar dipilih atas dasar pertimbangan transaksi atau uang setoran atau mahar politik,” tandasnya.
Demikian juga halnya sikap politik masyarakat dalam menentukan pilihannya sangat tergantung pada imbalan yang diterima dari calon. Para calon kerap memanfaatkan perilaku pemilih irasional yang mudah disuap atau disogok. “Pemilihan yang penuh dengan tabiat kejahatan seperti ini kerap mengenyampingkan calon-calon yang sesungguhnya berkualitas untuk terpilih. Dalam daftar calon, sesungguhnya terdapat beberapa figur yang memiliki reputasi baik, namun karena mereka tidak mengandalkan uang untuk membeli suara pemilih, maka mereka tidak dilirik pemilih. Justru yang terpilih adalah mereka yang bisa melakukan kejahatan dengan menyogok pemilih,” urai Liando.
Tambah Liando, Bawaslu sesungguhnya diberikan kewenangan untuk mencegah terjadinya pelanggaran itu. Namun pada kenyataannya mereka kerap terbelenggu oleh regulasi yang tidak mendukung.
“Dalam penanganan pelanggaran pemilu, Bawaslu hanya diberi kesempatan untuk menangani hingga hasil hanya 7 hari dan jika memerlukan keterangan tambahan hanya dapat diperpanjang selama 7 hari. Dalam UU Pilkada, waktu penanganan hanya 3 plus 2 hari. Jika laporannya banyak, membutuhkan saksi yang banyak tentu bukanlah hal yang gampang,” terang Liando.
Sementara itu, Lembaga Gakkumdu yang menangani dugaan pelanggaran kerap menemui beda persepsi hukum dalam penanganan. Di sisi lain, kesadaran masyarakat dalam memberikan laporan sangatlah terbatas. Selama ini mayoritas pelanggaran yang ditangani bersifat temuan langsung oleh pengawas. Bawaslu juga kerap menghadapi kesulitan karena sulitnya menghadirkan terlapor maupun saksi dalam persidangan.
Masalah-masalah ini perlu dicarikan jalan keluar mengingat UU 7 Tahun 2017 tentang pemilu dan UU Nomor 10 tahun 2016 tentang pilkada tidak melalui proses revisi dan kedua UU ini tetap aka digunakan pada pemilu dan pilkada di tahun 2024. Sehingga pelanggaran dan kejahatan yang terjadi pada pemilu 2019 dan pilkada 2020 masih berpotensi akan terulang kembali pada tahun 2024.
Selain Liando, turut membawakan materi adalah Ketua Bawaslu RI Abhan dan Ketua Bawaslu Sulut Dr Herwyn Malonda.(37)
Komentar