Hukum Sebagai Kontrol Sosial Sekaligus Alat Rekayasa Sosial dalam Berdamai Dengan Covid-19

Gaya Hidup, Politik, Sulut1,329 views

Oleh: Stefan Obadja Voges, SH, MH

AHLI hukum Romawi Cicero pernah mengatakan Ubi societas ibi ius (dimana ada masyarakat, di sana ada hukum). Banyak orang tidak menyadari bahwa hukum mengatur kehidupan manusia sejak manusia masih berupa embrio dalam kandungan ibunya, juga masih mengatur hak-hak manusia ketika dia sudah meninggal (surat wasiat), bahkan melindungi proses pemakaman manusia yang sudah meninggal.

H. Riduan Syahrani, SH mengatakan bahwa hukum mengatur semua aspek kehidupan masyarakat  baik ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, bahkan di Indonesia, hukum mengatur tentang ideologi bangsa (ipoleksosbudhankam). Jadi, ketika ada persoalan dibidang ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan ideologi, hukum pasti berbicara.

Memahami apa yang dimaksud dengan berdamai dengan Covid-19 memang tidak mudah. Sejauh pengamatan saya, netizen kesulitan menangkap makna berdamai dengan Covid-19 yang didengungkan Pemerintah. Perdebatan didunia daringpun terjadi.

Untuk itu, saya mencoba mencermati maksud Jokowi tentang berdamai dengan Covid-19 ini dari salah satu wawancara beliau di salah satu media online.

Detiknews, sabtu 16 Mei 2020, Jokowi menjelaskan dengan cukup detail apa konsep berdamai dengan Covid-19;

“Masyarakat Indonesia harus hidup berdampingan dengan virus Covid-19. Sebab, menurut informasi dari World Health Organization (WHO), virus Corona tidak akan hilang”.

“Kita memang harus berkompromi dengan Covid-19, kita harus bisa hidup berdampingan dengan Covid-19. Kita harus berdamai dengan Covid-19”.

“Hidup berdampingan bukan berarti menyerah pada keadaan, tapi menyesuaikan diri dengan keberadaan virus Corona”.

“Berdampingan itu justru kita tidak menyerah, tapi menyesuaikan diri. Kita lawan virus Corona dengan mengedepankan dan mewajibkan protokol kesehatan yang ketat”.

“Selama belum ada vaksin virus Corona, maka masyarakat harus menyesuaikan diri dengan tatanan kehidupan yang baru. Jaga jarak dan melakukan protokol pencegahan Covid-19 harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari”.

“Kehidupan kita sudah pasti berubah untuk mengatasi risiko wabah ini, itu keniscayaan, itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai new normal atau tatanan kehidupan baru”.

“Tapi kehidupan yang berbeda itu bukan kehidupan yang penuh pesismisme atau ketakutan. Kita kembalikan produktivitas kita dengan optimisme karena kita juga tetap menerapkan berbagai mekanisme pencegahan. Ini penyakit berbahaya tapi kita bisa mencegah dan menghindarinya”.

Di awal wawancara, Jokowi menjelaskan, dia belum akan melonggarkan PSBB dan tidak ingin mengambil keputusan keliru tentang PSBB. Jokowi juga menaruh perhatian terhadap kondisi ekonomi masyarakat saat ini. Jokowi ingin masyarakat tetap produktif dan aman dari virus Corona.

“Tapi kita juga harus melihat kondisi masyarakat sekarang ini. Kondisi yang terkena PHK, kondisi masyarakat yang tidak berpenghasilan lagi. Ini harus dilihat. Kita juga ingin masyarakat produktif dan tetap aman dari Covid-19.”

Dalam tahap produktif dan aman, Jokowi mengatakan masyarakat harus tetap beraktivitas. “Ya beraktivitas, ya. Dan kita memang harus berkompromi dengan Covid-19, bisa hidup berdampingan dengan Covid-19. Yang kemarin saya bilang, kita harus berdamai dengan Covid.”

Bagi saya ini sudah cukup menjadi gambaran bahwa ada maksud Jokowi untuk mencegah terjadinya krisis ekonomi sembari mencoba untuk memecahkan krisis kesehatan yang disebabkan Pandemi Covid-19.

Dan pilihan Jokowi adalah untuk menjalankan keduanya secara bersamaan. Menyelesaikan krisis kesehatan sekaligus mencegah krisis ekonomi, sebelum krisis sosial dan politik terjadi.

Untuk itu, menurut pemikiran saya, maksud Jokowi ini harus didukung instrumen hukum yang dapat mendukung visinya terkait new normal atau tatanan kehidupan baru yang ada dalam benaknya.

Sekalipun Jokowi tidak menggambarkan secara tegas dan rinci apa yang dimaksudkannya dengan sebuah tatanan kehidupan yang baru, namun saya dapat melihat tiga sinyal penting yang selama ini sudah mulai diterapkan yaitu: social distancing, physical distancing dan healthy live procedure.

Kita sudah melihat beberapa perubahan perilaku sosial yang sekarang sedang terjadi di masyarakat kita; penggunaan masker, tempat duduk publik yang diberi tanda silang, tempat antrian yang diberi batas garis, protokol cuci tangan dan cek suhu tubuh dibeberapa perkantoran dan tempat perbelanjaan, penyediaan hand sanitizer dan tempat-tempat cuci tangan, work from home, meeting daring, kuliah daring dan lain-lain.

Khusus penggunaan masker, jika dulu sebelum Covid-19 kita tidak menggunakan masker, itu akan dianggap biasa. Tetapi sekarang, jika kita keluar rumah dengan tidak menggunakan atau membawa masker maka kita akan dianggap tidak normal. Disinilah esensinya the new normal, tatanan kehidupan baru yang mungkin dimaksudkan oleh Jokowi.

Lawrence Friedmann dalam teori sistem hukumnya menjelaskan, ada tiga tinjauan terkait sebuah sistem hukum yang benar-benar efektif jika ingin diterapkan dalam kehidupan masyarakat; Legal Structure (Kelembagaan Hukum), Legal Substance (Substansi Hukum) dan Legal Culture (Budaya Hukum).

Untuk menerapkan sebuah new normal, atau tatanan kehidupan baru, maka Pemerintah harus menyiapkan semua yang dibutuhkan berdasarkan ketiga tinjauan tersebut. Pemerintah harus mempersiapkan lembaga hukum (kepolisian, pengadilan, kejaksaan dan praktisi hukum) yang siap dan kuat untuk menunjang penerapan substansi hukum (norma dan aturan-aturan terkait new normal dan protokol kesehatan) pemerintah juga harus mempelajari bahwa dalam penerapan new normal, akan ada nilai-nilai baru yang akan diterapkan tanpa harus menciderai nilai-nilai budaya hukum yang sudah lama ada.

Profesor Doktor Achmad Ali mengatakan, suatu aturan hukum dapat ditaati oleh sebagian besar masyarakat, dapat diartikan bahwa aturan hukum tersebut efektif. Namun demikian meskipun sebuah aturan yang ditaati dapat dikatakan efektif, derajat keefektifannya masih bergantung pada kepentingan yang menaatinya.

Jika ketaatan masyarakat terhadap suatu aturan hukum karena kepentingan yang bersifat compliance (takut sanksi), maka derajat ketaatannya dinilai sangat rendah.

Sebaliknya, ketika ketaatan yang timbul  berdasarkan kepentingan yang internalization, (ketaatan yang dilakukan karena hukum tersebut benar-benar cocok dengan nilai-nilai kehidupan atau prinsip keyakinan yang dianutnya) maka ketaatan seperti ini adalah derajat ketaatan yang tertinggi.

Sebagai seorang pelajar Ilmu Hukum, saya berpikir, untuk berdamai dengan Pandemi Covid-19 ini, peranan hukum sangat signifikan. Semua ini harus dilakukan dengan cepat dan tepat, sebelum krisis sosial dan politik terjadi.

Hukum harus menjadi alat kontrol sosial dan alat rekayasa sosial baik saat ini, maupun saat berdamai benar-benar diterapkan dengan pengaplikasian tatanan kehidupan baru yang sungguh-sungguh sesuai dengan nilai-nilai kehidupan dan prinsip keyakinan mayoritas masyarakat agar derajat ketaatan rakyat benar-benar tinggi, hingga tiba saatnya Corona bukan lagi sesuatu yang harus kita takuti.

Kita harus yakin kita akan mampu melalui krisis ini jika kita tetap bersatu dan saling mendukung, berhentilah saling menyalahkan. Menarik untuk ditunggu, apa yang akan dilakukan Jokowi dan tim milenialnya. Tetap semangat! Salam Sehat Selalu! Tuhan beserta kita!

Pakatuan wo pakalawiren!